Cerpen By: Rizki Amelia Pertiwi
Disunting oleh Sofia Fikriani
“Nak, Ibu butuh uang untuk biaya adikmu sekolah. Barangkali kamu sedang ada rejeki, tolong dibantu, yah.” Begitu isi pesan Ibu di aplikasi berwarna hijau.
Tentu, ini bukan yang pertama kali beliau memintaku membantunya. Sering sekali Ibu meminta tolong tapi sesering itu juga aku meminta maaf. Jujur, aku bingung jika ibu sudah meminta tolong. Sebagai anak aku tidak ingin mengecewakannya. Ingin sekali rasanya membahagiakan orang tua, tetapi apa daya keadaan ekonomi belum juga membaik, meskipun suami sudah bekerja membanting tulang. Hingga pada akhirnya, Ibu juga mengerti jika aku belum bisa membantunya. Aku tahu ia pasti kecewa, tapi ia juga tak bisa berbuat apa-apa.
***
“Bu, aku berjanji akan belajar sungguh-sungguh agar aku bisa menjadi orang yang sukses dan bisa membahagiakan Ibu dan Bapak.”
Itulah janjiku pada ibu sepuluh tahun silam, saat masih duduk di bangku SMA. Ibu langsung memeluk dan mengaminkan cita-citaku.
Dulu aku anak yang cukup berprestasi di sekolah. Sebagai anak pertama dari empat bersaudara, rasanya orang tuaku sangat berharap agar kelak bisa membantu perekonomian mereka. Bapak adalah seorang PNS yang bergaji pas-pasan. Meski penghasilannya tidak terlalu besar, kami hidup berkecukupan. Kami bisa bersekolah dengan tenang tanpa tunggakan uang SPP, serta tak pernah kekurangan makan. Alhamdulillah.
Pada waktu itu, aku tergolong anak yang disiplin untuk belajar. Berkat nilai di sekolah yang selalu bagus, aku pun bisa masuk PTN ternama dengan mudah. Sering aku membayangkan suatu saat bisa menjadi orang yang sukses dan bisa membahagiakan orang tua.
Namun, terkadang manusia hanya bisa berencana. Siapa sangka saat duduk di bangku kuliah, aku sudah dilamar oleh Mas Reza. Dia adalah kakak tingkat di kampus. Meskipun usianya masih terbilang muda, ia cukup dewasa. Selain itu, ia lelaki yang soleh dan bertanggung jawab. Ah ya … ia juga seorang pekerja keras. Mas Reza sudah berwirausaha sejak bangku kuliah. Melihat kegigihannya dalam berjuang mencari rezeki, aku pun jatuh cinta dan tak bisa menolak ajakannya untuk menikah. Ia sudah terlalu sempurna bagiku. Rasanya aku tak yakin akan menemukan lelaki sebaik dia di kemudian hari.
“Dek, Mas gak mau pacaran. Mas maunya kita menikah,” ucapnya di sebuah pesan singkat.
Entah apa yang aku rasakan saat itu. Terasa hati berada di persimpangan, dilanda dilema. Jujur, aku pun mencintainya, tetapi belum siap menikah. Tak pernah sedetik pun aku berfikir akan menikah muda. Namun ia terlalu istimewa untuk ditolak.
Aku mencoba untuk salat istikharah agar diberi jalan terbaik. Berdoa jika memang Mas Reza adalah jodohku, dekatkanlah. Namun jika bukan jodohku, jauhkanlah.
Hari demi hari berlalu. Kami makin sering menjalin komunikasi. Mas Reza pun memberanikan diri mengutarakan keinginan kepada orang tuaku. Syukurlah orang tuaku pun menyukainya karena ia bersikap sangat santuni. Tak butuh waktu lama untuk kami bertunangan. Hingga akhirnya menikah, tepat setelah lulus kuliah.
Awalnya aku berpikir, setelah menikah akan mencari pekerjaan demi bisa meringankan beban orang tua. Ternyata takdir berkata lain. Aku positif hamil, sebulan setelah menikah. Bingung. Bukannya tidak bahagia menjadi seorang Ibu. Namun rasanya saat itu aku belum siap. Bagaimana dengan harapan orang tuaku?
Setelah kelahiran anak pertama, aku berencana untuk bekerja. Lagi-lagi galau melanda jika harus meninggalkan buah hati. Tak rela jika kelak si buah hati diasuh oleh orang lain. Aku pun berusaha berdamai dengan kondisiku.
Setahun kemudian, aku kembali dikaruniai anak kedua. Saat itulah aku benar-benar merasa harus fokus saja menjadi seorang Ibu Rumah Tangga. Toh suamiku juga masih bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anak.
Semakin lama keadaan ekonomi kami semakin membaik. Usaha Mas Reza semakin berkembang. Kami hidup berkecukupan dan bisa memberi kepada orang tua kami masing-masing, meski jumlahnya belum begitu banyak.
Sayangnya kondisi ini tidak berlangsung lama. Usaha Mas Reza bangkrut seketika karena ditipu rekan bisnisnya. Uang senilai ratusan juta raib sudah dan menyisakan hutang di sana-sini. Jika kurang iman, rasanya aku sudah sangat stres menghadapi musibah ini. Namun aku harus kuat dan bertahan melalui semua ini.
“Nak, hari ini adikmu butuh uang untuk membeli buku. Bisa tolong bantu Ibu, Nak?”
“Maafkan aku, Bu. Aku belum bisa membahagiakan Ibu dan Bapak.” Kubalas pesan singkat Ibu dengan rasa sesak di dada.
***