Hai, aku ibu rumah tangga yang sering kelelahan di rumah. Mengurus tugas domestik yang tiada habisnya. Tangan ini rasanya tak berhenti bergerak dari pekerjaan satu ke pekerjaan lainnya. Aku sering merasa kurang produktif menjalaninya. Merasa sendiri karena tak ada yang membantu dan tak pernah mendapat libur. Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, “Apa aku terlalu banyak mengeluh atau sebenarnya aku hanya lelah saja?”
Aku sadari, ibadahku terasa payah sejak aku menikah. Karena tak lama setelahnya aku mual muntah, berlelah-lelah dalam kehamilan. Ramadhan sering kulewatkan. Sering aku bertanya pada diri, “Ke mana dhuhaku, rawatibku, dan sunnahku lainnya?” Tilawah yang kadang hanya hitungan lembar saja. Bahkan aku si ibu rumah tangga ini jarang berkabar pada qiyamul lail dan menyalahkan lelahnya bekerja seharian di rumah.
Produktifku memang masih di rumah saja. Aku sering mengobati diri dengan kalimat ini, “Hai, Bu, ada dosa yang senantiasa Allah gugurkan dan ada pahala yang Allah limpahkan,” sambil memeluk diri.
Aku lelah, bukankah kau meminta Jannah, Bu?
Lalu aku bertanya, apakah ada ibu rumah tangga yang mengeluh pada zaman rasul?
Aku ingin tahu dan aku ingin mencontoh bagaimana agar bisa semangat setiap harinya dalam menjalani hari tanpa ada keluhan sesekali.
Kucari dengan rasa penasaran yang sangat tinggi, aku takut jangan-jangan aku ini kurang bersyukur menjadi ibu rumah tangga, terlalu banyak mengeluh dan berkedok lelah saja setiap harinya.
Kudapati sebuah kisah dari putri Rasulullaah SAW tercinta, Fatimah Az-Zahra, yang sedang menangis sambil menggiling gandum. Melihat putrinya yang sedang menangis itu lalu Rasulullaah SAW mendekatinya dan bertanya, “Wahai Fatimah mengapa engkau menangis? Allah tidak menyebabkan matamu menangis.”
Lalu Fatimah menceritakan pada Rasul (ayahnya) perihal sesuatu yang membuatnya menangis. “Wahai ayahku, aku menangis karena kesibukan rumah tangga yang aku kerjakan setiap hari tanpa seorang pun yang membantu.”
Kemudian, Rasul duduk di sampingnya dan mendengarkan sang anak melanjutkan ceritanya. “Wahai ayahku, dengan keutamaan yang engkau miliki, tolong katakan pada Ali (suami) supaya mau membelikan budak untukku agar dapat membantu mengiling gandum dan mengurusi pekerjaan rumah.”
Membaca kisah tersebut, rasanya sangat mudah bagi Rasul menghadirkan budak untuk membantu meringankan pekerjaan anaknya di rumah, terlebih kala itu Fatimah sudah sampai menangis, menurutku sebagai ibu rumah tangga yang setiap hari mengerjakan pekerjaan rumah tanpa ada yang membantu Fatimah sudah pada tahap sangat kelelahan.
Setelah mendengar cerita tersebut, Rasul berdiri dan mengambil gandum dengan tangannya lalu mengucapkan “Bismillaaah” kemudian berkata pada putrinya agar tidak lagi mengeluh ketika melaksanakan tugasnya sebagi seorang istri.
“Wahai Fatimah, Allah SWT ingin menulis kebaikan untukmu, melebur dosa-dosamu, dan mengangkat derajatmu. Wahai Fatimah, tiada istri yang menggiling tepung untuk suami dan anaknya kecuali Allah mencatatkan kebaikan baginya pada setiap biji dari gandum, meleburkan dosanya, dan meninggikan derajatnya.”
“Wahai Fatimah, tiada keringat istri ketika menggiling tepung untuk suaminya, kecuali Allah menjadikan jarak baginya dan neraka sejauh tujuh khanadiq.”
“Wahai Fatimah, ketika seorang istri mengandung janin di perutnya, malaikat memintakan ampun untuknya, Allah menulis 15.000 kebaikan baginya. Ketika datang rasa sakit melahirkan, Allah SWT menulis pahala baginya senilai pahala mujahidin, dan ketika seorang bayi telah lahir darinya maka Allah mengeluarkan berbagai macam dosa darinya hingga dia bersih kembali sebagaimana hari ketika dia dilahirkan oleh ibunya.”
Seketika deras sekali air mata ini membasahi wajah. Untuk apa lelahmu, bu? Hanya di rumah? Bukankah ladang pahalamu di rumah, Bu? Tinggal memilih untuk diambil atau tidak?
Hai, aku ibu rumah tangga.
Semoga lelahmu menjadi Lillaah dengan segala keberkahan yang berlimpah dan Allah ridha hingga Dia hadiahkan Jannah.
Oleh : Riska Rizkiani (@riskarizkianii)
Sumber :