” Berhenti Mengejar Kesempurnaan ” adalah sebuah Tulisan Karya Member Ibu Profesional, Teh Danica FA (Pengurus Rumin LIterasi Keluarga Ibu Profesional Bandung), yang terpilih menjadi kontributor tulisan di bulan Maret 2023.
—————————————————————————————————————————————————-
Ia berdiri di depan sana. Seorang penyanyi perempuan di atas sebuah panggung yang megah dengan riasan yang mewah. Tangan kanannya gemetar sembari membawa sebuah kapas. Dengan suara bergetar, ia menceritakan proses panjang dirinya bisa seperti ini. Bagaimana ia membutuhkan keberanian untuk bisa memasang fotonya menjadi sampul album. Bukan foto biasa, melainkan foto tanpa riasan.
Air mata berlinang seiring ia usapkan kapas ke riasan di wajahnya. Ia lakukan itu semua di hadapan ratusan penggemar, di atas panggung dengan layar besar yang menyorot wajahnya dengan jelas. Bukan, itu bukan air mata kesedihan. Itu adalah lambang kebebasan. Bebas dari perasaan tidak puas. Bebas dari keinginan mengejar kesempurnaan.
“Aku tak sempurna
Tak perlu sempurna
Akan kurayakan apa adanya“
*****
Bicara tentang sempurna, tiap orang memiliki definisinya masing-masing. Entah itu tampilan fisik atau performa dalam menjalani aktivitas sehari-hari, atau bahkan keduanya. Disadari atau tidak, kita sebagai manusia, terutama ibu, cenderung memiliki keinginan untuk mengejar kesempurnaan.
Siapa di sini yang pernah membayangkan ingin rumahnya terus bersih dan rapi, selalu tersedia makanan yang enak dan sehat untuk keluarga, urusan domestik selalu beres, tapi juga tetap memiliki waktu untuk diri sendiri dan penampilan selalu paripurna? Kalau kamu pernah berpikir demikian (seperti halnya aku saat awal menikah), mungkin sudah saatnya kita puasa media sosial, terutama akun-akun influencer.
Tapi sebenarnya dari mana asalnya kebutuhan untuk sempurna?
Jika ditinjau lebih dalam, manusia–terutama di era sekarang dimana media sosial menjadi tak terhindarkan bagi banyak orang–cenderung ingin menampilkan yang terbaik di media sosialnya. Gak usah bilang, “Gak kok, aku gak gitu.” Pencitraan, istilah yang sering dipakai kebanyakan orang, ternyata sesuatu yang lumrah. Setidaknya begitu menurut ahli neuroscience.
“Seperti halnya interaksi sosial positif memicu sistem penghargaan di otak,” cetus Dean Burnett dalam bukunya yang berjudul The Happy Brain, “Penolakan sosial juga tampaknya memicu bagian otak yang bertanggungjawab untuk pengolahan rasa sakit.”
Artinya, otak akan melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk menghindari penolakan. Karena itu otak cenderung melakukan “penekanan” atau “melebihkan” sisi baik diri agar bisa terlihat lebih baik untuk menghindari penolakan sosial. Bagaimanapun juga rasa sakit itu tidak menyenangkan, bukan? Karena itulah sadar atau tidak, pencitraan hadir.
Afutami dalam bukunya Menjadi juga menyatakan demikian. Pada hakikatnya, manusia lihai dalam menginternalisasi label, identitas, dan peran yang diciptakan orang lain kepada kita, lengkap dengan set instruksi tentang bagaimana kita “seharusnya”. Dari situ, kita membentuk lapisan-lapisan seperti bawang yang kita persepsikan sebagai “diri”.
Menurut Afu, lapisan pertama umumnya adalah peran yang kita pilih sendiri–ibu rumah tangga, pebisnis, dokter, dan sebagainya. Semakin kita kupas tiap lapisannya, maka kita akan melihat bagian yang tertanam dalam dan kita anggap sebagai “diri”.
Bukan berarti memiliki lapisan ini salah. Hal ini wajar sebagai manusia. Kita hanya perlu menyadari bahwa label, identitas, dan peran tersebut telah membentuk kita menjadi yang sekarang. Sadari dan terima, itu kuncinya.
Tapi, perlu diingat, jangan sampai semua itu menciptakan batasan tentang bagaimana kita harus bertindak atau merespons suatu kejadian. Ambil contoh peran ibu rumah tangga. Seberapa sering kita mendengar kalimat seperti berikut:
“Kamu kan ibu rumah tangga, seharusnya mahir dalam mengurus rumah.”
“Ibu rumah tangga gak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh nanti tidak terpakai gelarnya.”
“Jadi ibu rumah tangga harus bisa masak biar suami dan anak makin cinta.”
Dalam satu peran saja, kita bisa menemukan banyak label dan identitas yang disematkan. Seringkali label tersebut kita dapatkan dari orang lain, dan otak kita berusaha menyesuaikan diri agar bisa memenuhi ekspektasi dari label tersebut untuk menghindari penolakan sosial.
Kita tidak jadi kuliah, gara-gara label “ibu rumah tangga tidak perlu sekolah tinggi”. Kita merasa diri kita buruk hanya karena tidak bisa menyajikan makanan sehat homemade setiap harinya. Akibatnya, diri kita merasa terbebani atas ekspektasi dan tuntutan tapi takut untuk keluar dari tanggung jawab dari apa yang dianggap “seharusnya” tersebut.
Atau dari contoh di bagian awal tulisan ini. Seorang penyanyi perempuan yang mengambil peran sebagai public figure, lengkap dengan label bahwa public figure tidak hanya memiliki suara indah, namun juga harus berparas cantik. Tidak ada toleransi atas jerawat dan bekas luka pada wajahnya. Ia terbebani atas itu semua. Takut menunjukkan wajahnya tanpa riasan.
Lalu bagaimana sebaiknya kita menyikapi segala label, identitas, dan peran tersebut?
Pemahaman terhadap diri yang merupakan kumpulan pengalaman, proses, identitas, label, maupun peran justru bisa sangat memerdekakan. “Mereka semua adalah aku,” ujar Afutami dalam bukunya Menjadi, “aku mengizinkan diriku untuk memulai dari diri lapisan terdalam dan melepaskan tanggung jawab yang bersifat membebani atau harapan-harapan yang datang dari lapisan-lapisan tambahan.”
Karena itu, bagiku, perempuan yang menginspirasi di masa kini bukanlah perempuan yang sempurna dalam segala perannya. Perempuan yang menginspirasi adalah perempuan yang tak masalah membuat label baru untuk dirinya. Ia menerima dirinya, menerima kemampuan dan keterbatasannya, serta berusaha sebaik-baiknya menjalani perannya tanpa terbebani oleh harapan dari luar. Ia izinkan dirinya tidak sempurna.
Danica FA
Daftar Pustaka:
1. Afutami. (2022). Menjadi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
2. Burnett, Dean. (2019). The Happy Brain. Jakarta: Penerbit Gemilang